Pendidikan merupakan variabel kunci dalam mendorong perbaikan ekonomi. Berdasar hasil penelitiannya, Arif (2004) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan keaksaraan petani desa terbuka dan desa tertutup dengan respon petani terhadap tani maju. Selain itu, dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan keaksaraan petani dengan kemampuan berkomunikasi dan kebutuhan untuk berprestasi, baik petani desa terbuka maupun desa tertutup. Selain itu hasil studi Fisher (Arif, 2004) menunjukkan adanya pengaruh tingkat pendidikan keaksaraan terhadap mutu sumber daya manusia.
Dengan memperhatikan hasil studi Arif dan Fisher di atas kita dapat melihat bahwa sebenarnya kemelekan huruf merupakan kunci bagi pengembangan ekonomi dan sosial. Mereka yang memiliki kemampuan keaksaraan yang lebih baik akan memiliki motivasi berprestasi yang lebih baik dari mereka yang kemampuan keaksaraan rendah. Salah satu program yang berupaya membuat melek huruf masyarakat adalah program pemberantasan buta huruf dengan pendekatan keaksaraan fungsional, yang selanjutnya disebut program Keaksaraan Fungsional (KF). Program ini menitik beratkan pada sasaran yang berusia 15 – 44 tahun. Penentuan prioritas ini berdasarkan hasil sensus tahun 2000 yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia berusia 10 – 44 tahun yang buta aksara mencapai 5.956.462 orang.
Keaksaraan Fungsional (KF) merupakan suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, mengamati dan menganalisa yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitar. Sementara itu Kusnadi (2003a) menyatakan bahwa istilah Keaksaraan Fungsional menekankan pada suatu kemampuan untuk dapat mengatasi suatu kondisi baru yang tercipta oleh lingkungan masyarakat, agar warga belajar dapat memiliki kemampuan fungsional (berfungsi bagi diri dan masyarakatnya)
Penyelenggaraan keaksaraan fungsional memiliki prinsip-prinsip yang tidak sama dengan penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah yang lain. Prinsip-prinsip penyelenggaraan keaksaraan fungsional adalah (Kusnadi, 2003b) :
1. Konteks lokal, artinya KF dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks sosial dan kebutuhan khusus dari setiap WB dan masyarakat sekitarnya
2. Desain lokal, artinya rancangan kegiatan belajar harus fleksibel, mudah dimodifikasi, diganti dan ditambah sehingga sesuai dengan minat, kebutuhan, kesepakatan, situasi dan kondisi WB.
3. Proses partisipatif,artinya proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program melibatkan warga belajar secara aktif, sehingga program KF bukan hanya menjadi milik tutor dan pengelola saja melainkan juga dimiliki warga belajar
4. Fungsionalisasi hasil belajar,artinya apa yang diperoleh warga belajar diharapkan dapat memfungsikan keaksaraannya untuk menganalisa dan memecahkan masalah yang dihadapi (utamanya keaksaraan) dan untuk meningkatkan mutu taraf hidupnya.
Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh tutor dan pengelola keaksaraan fungsional dalam melaksanakan proses pembelajaran (Kusnadi, 2003b), yaitu (1) warga belajar akan termotivasi untuk belajar jika sesuai dengan pengalaman, minat dan kebutuhan mereka, (2) orientasi belajar berhubungan erat dengan kehidupannya, (3) pengalaman adalah sumber yang paling kaya dan harus diakui keberadaannya bagi pembelajaran program keaksaraan fungsional, (4) setiap warga belajar mempunyai kebutuhan untuk mengarahkan diri, dan (5) perbedaan individu di antara warga belajar meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Pembelajaran dalam keaksaraan fungsional dilakukan dengan 5 (lima) kegiatan yaitu:
1. Diskusi, yang bertujuan memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk saling berbagi informasi, pengalaman, dan berpartisipasi dalam proses. Selain itu kegiatan ini juga dilakukan untuk memahami dan menganalisis berbagai hal yang akan dipelajari di kelompok belajar. Kegiatan ini menempatkan warga belajar sebagai orang yang “ahli” dalam kelompok karena masing-masing memiliki pengalaman hidup, pengetahuan, cerita dan gagasan untuk dikemukakan kepada orang lain.
2. Menulis, dimana warga belajar diajak belajar memikirkan sesuatu secara sistematis, dan menggunakan kemampuan menulisnya guna membuat bahan bacaan untuk kelompok belajar. Kegiatan ini digunakan untuk menuliskan tentang apa yang ada pada pikiran berupa gagasan dan pengalaman warga belajar.
3. Membaca, dimana kegiatan ini digunakan untuk mempelajari informasi baru, gagasan dan pengalaman dari tempat lain, atau pengalaman dari kelompok belajar itu sendiri. Warga belajar diminta menuliskan sesuatu dan membacanya. Warga belajar juga diminta untuk membaca tulisan orang lain.
4. Berhitung. Pada umumnya warga belajar dapat mengenal perhitungan yang berhubungan dengan ukuran/takaran, nilai uang, menimbang (menghitung berat), menghitung luas tanah, dan sebagainya. Namun demikian tutor perlu mengetahui jenis dan alat berhitung yang biasa digunakan
5. Keterampilan fungsional. Pada dasarnya keterampilan yang diberikan merupakan media bagi penguatan kermampuan baca, tulis dan hitung warga belajar. Pemberian keterampilan fungsional ini juga diharapkan mampu memberikan warga belajar keterampilan dan pengetahuan baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya.
Persoalan mendasar dalam penyelenggaraan kelompok belajar KF ini adalah bahwa raw input nya warga masyarakat tingkat penguasaan keaksaraannya masih rendah, sehingga seringkali memunculkan kondisi dimana peran serta dan keaktivan warga belajar dalam proses masih sangat rendah. Hal ini sesuai fenomena yang diberikan oleh Arif (2004) di atas yaitu bahwa tingkat penguasaan keaksaraan berpengaruh pada kebutuhan untuk berprestasi.
Dengan memperhatikan kondisi ini maka perlu ada upaya untuk memberikan motivasi kepada warga belajar agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang optimal. Intinya, dalam penyelenggaraan keaksaraan fungsional motivasi merupakan unsur penting dalam meraih partisipasi warga belajar dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajaran perlu untuk selalu memulai proses pembelajaran dengan kegiatan yang mampu menarik perhatian dan partisipasi warga belajar. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip belajar yaitu prinsip motivasi yang menyatakan bahwa keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh adanya penyediaan dorongan/motivasi (Rohani dan Ahmadi, 1991)
Pemberian keterampilan fungsional kepada warga belajar yang digunakan sebagai media untuk menguatkan keterampilan baca, tulis dan hitung warga belajar sebaiknya meningkatkan mutu dan taraf hidupnya. Untuk itu, seharusnya ada sebuah upaya agar keterampilan yang telah diberikan benar-benar mampu memberikan kontribusi bagi warga belajar dalam meningkatkan pendapatan keluarganya. Salah satu upaya yang dapat dijadikan sarana ke arah tersebut adalah pembentukan sebuah kelompok usaha bagi warga belajar sebagai tindak lanjut penyelenggaraan kelompok belajar keaksaraan fungsional. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama ini kelompok belajar keaksaraan fungsional hanya diformat dalam proses belajar yang hanya dilakukan selama 6 bulan saja.